Minggu, 28 Oktober 2012

Akulturasi adalah suatu proses sosial yang timbul manakala suatu kelompok manusia dengan kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur dari suatu kebudayaan asing. Kebudayaan asing itu lambat laun diterima dan diolah ke dalam kebudayaannya sendiri tanpa menyebabkan hilangnya unsur kebudayaan kelompok itu sendiri. (http://id.wikipedia.org/wiki/Akulturasi) Relasi Internalkultural (Komunikasi antarbudaya) adalah komunikasi yang terjadi di antara orang-orang yang memiliki kebudayaan yang berbeda (bisa beda ras, etnik, atau sosioekonomi, atau gabungan dari semua perbedaan ini. Menurut Stewart L. Tubbs,komunikasi antarbudaya adalah komunikasi antara orang-orang yang berbeda budaya (baik dalam arti ras, etnik, atau perbedaan-perbedaan sosio ekonomi).Kebudayaan adalah cara hidup yang berkembang dan dianut oleh sekelompok orang serta berlangsung dari generasi ke generasi. Hamid Mowlana menyebutkan komunikasi antarbudaya sebagai human flow across national boundaries. Misalnya; dalam keterlibatan suatu konfrensi internasional dimana bangsa-bangsa dari berbagai negara berkumpul dan berkomunikasi satu sama lain.[2] Sedangkan Fred E. Jandt mengartikan komunikasi antarbudaya sebagai interaksi tatap muka di antara orang-orang yang berbeda budayanya. "Intercultural communication generally refers to face-to-face interaction among people of diverse culture". Guo-Ming Chen dan William J. Sartosa mengatakan bahwa komunikasi antarbudaya adalah proses negosiasi atau pertukaran sistem simbolik yang membimbing perilaku manusia dan membatasi mereka dalam menjalankan fungsinya sebagai kelompok.Selanjutnya komunikasi antarbudaya itu dilakukan: 1. Dengan negosiasi untuk melibatkan manusia di dalam pertemuan antarbudaya yang membahas satu tema (penyampaian tema melalui simbol) yang sedang dipertentangkan. Simbol tidak sendirinya mempunyai makna tetapi dia dapat berarti ke dalam satu konteks dan makna-makna itu dinegosiasikan atau diperjuangkan;[4] 2. Melalui pertukaran sistem simbol yang tergantung daripersetujuan antarsubjek yang terlibat dalam komunikasi, sebuah keputusan dibuat untuk berpartisipasi dalam proses pemberian makna yang sama 3. Sebagai pembimbing perilaku budaya yang tidak terprogram namun bermanfaat karena mempunyai pengaruh terhadap perilaku kita;[4] 4. Menunjukkan fungsi sebuah kelompok sehingga kita dapat membedakan diri dari kelompok lain dan mengidentifikasinya dengan pelbagai cara. Prinsip-Prinsip Komunkasi Antarbudaya A. Relativitas Bahasa Gagasan umum bahwa bahasa memengaruhi pemikiran dan perilaku paling banyak disuarakan oleh para antropologis linguistik. Pada akhir tahun 1920-an dan disepanjang tahun 1930-an, dirumuskan bahwa karakteristik bahasa memengaruhi proses kognitif kita. Dan karena bahasa-bahasa di dunia sangat berbeda-beda dalam hal karakteristik semantik dan strukturnya, tampaknya masuk akal untuk mengatakan bahwa orang yang menggunakan bahasa yang berbeda juga akan berbeda dalam cara mereka memandang dan berpikir tentang dunia. B. Bahasa Sebagai Cermin Budaya Bahasa mencerminkan budaya. Makin besar perbedaan budaya, makin perbedaan komunikasi baik dalam bahasa maupun dalam isyarat-isyarat nonverbal. Makin besar perbedaan antara budaya (dan, karenanya, makin besar perbedaan komunikasi), makin sulit komunikasi dilakukan.Kesulitan ini dapat mengakibatkan, misalnya, lebih banyak kesalahan komunikasi, lebih banyak kesalahan kalimat, lebih besar kemungkinan salah paham, makin banyak salah persepsi, dan makin banyak potong kompas (bypassing). C. Mengurangi Ketidak-pastian Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besarlah ketidak-pastian dam ambiguitas dalam komunikasi. Banyak dari komunikasi kita berusaha mengurangi ketidak-pastian ini sehingga kita dapat lebih baik menguraikan, memprediksi, dan menjelaskan perilaku orang lain. Karena letidak-pasrtian dan ambiguitas yang lebih besar ini, diperlukan lebih banyak waktu dan upaya untuk mengurangi ketidak-pastian dan untuk berkomunikasi secara lebih bermakna. D. Kesadaran Diri dan Perbedaan Antarbudaya Makin besar perbedaan antarbudaya, makin besar kesadaran diri (mindfulness) para partisipan selama komunikasi. Ini mempunyai konsekuensi positif dan negatif. Positifnya, kesadaran diri ini barangkali membuat kita lebih waspada. ini mencegah kita mengatakan hal-hal yang mungkin terasa tidak peka atau tidak patut. Negatifnya, ini membuat kita terlalu berhati-hati, tidak spontan, dan kurang percaya diri. E. Interaksi Awal dan Perbedaan AntarbudayA Perbedaan antarbudaya terutama penting dalam interaksi awal dan secara berangsur berkurang tingkat kepentingannya ketika hubungan menjadi lebih akrab. Walaupun kita selalu menghadapi kemungkinan salah persepsi dan salah menilai orang lain, kemungkinan ini khususnya besar dalam situasi komunikasi antarbudaya. F. Memaksimalkan Hasil Interaksi Dalam komunikasi antarbudaya - seperti dalam semua komunikasi - kita berusaha memaksimalkan hasil interaksi. Tiga konsekuensi yang dibahas oleh Sunnafrank (1989) mengisyaratkan implikasi yang penting bagi komunikasi antarbudaya. Sebagai contoh, orang akan berintraksi dengan orang lain yang mereka perkirakan akan memberikan hasil positif. Karena komunikasi antarbudaya itu sulit, anda mungkin menghindarinya. Dengan demikian, misalnya anda akan memilih berbicara dengan rekan sekelas yang banyak kemiripannya dengan anda ketimbang orang yang sangat berbeda. (http://id.wikipedia.org/wiki/Komunikasi_antarbudaya)

Kamis, 04 Oktober 2012

Psikologi Lintas Budaya Tema 1 dan 2

Pengertian dan tujuan dari Psikologi Lintas Budaya serta menjelaskan hubungannya antara Psikologis Lintas Budaya dengan disiplin ilmu yang laiun Psikologi lintas budaya adalah kajian mengenai persamaan dan perbedaan dalam fungsi individu secara psikologis, dalam berbagai budaya dan kelompok etnik; mengenai hubungan-hubungan di antara ubaha psikologis dan sosio-budaya, ekologis, dan ubahan biologis; serta mengenai perubahan-perubahan yang berlangsung dalam ubahan-ubahan tersebut. Sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Psikologi lintas_budaya Tujuan Psikologi Lintas Budaya yang pertama paling nyata ialah pengujian kerampatan (generality)pengetahuan dan teori psikologis yang aada. Tujuan ini pernah di ajukan dan teori psikologis yang ada. Tujuan ini di pernah ajukan dan teori psikologis yang ada. Tujuan ini pernah di uraikan oleh J.W Whiting (1986). Ia mengatakan bahwa kita menggunakan psikologi lintas budaya melalui penggunaan data “beragam orang dari seantero dunia semata-mata untuk menguji hipotesis-hipotesis yang berhubungan dengan perilaku manusia”. Dawson (1971) mengajukan tujuan ini ketika menyatakan bahwa psikologi lintas budaya dirancang “agar kesahihan universal teori-teori psikologi dapat dikali secara lebih efektif”. Pandangan ini lebih jauh di gaungkan oleh Segall dan kawan-kawan (1990), yang menyatakan bahwa “mengingat pentingnya budaya sebagai suatu penentu perilaku, para psikologi wajib menguji kerapatan lintas budaya dari asas-asas mereka sebelum menerapkan asas-asas itu”. Sumber: http://kumpulan-materi.blogspot.com/2012/03/tujuan-psikologi-lintas-budaya Hubungan antara Psikologi Lintas budaya dengan dengan disiplin ilmu lainnya Dalam buku-buku pengantar antropologi selalu disebutkan hasil temuan Kroeber & Kluckhon yang mengidentifikasi definisi budaya. Mereka mencatat sekurang-kurangnya terdapat 169 definisi berbeda. Hal itu menunjukkan betapa beragamnya sudut pandang yang digunakan untuk melihat budaya. Masing-masing disiplin ilmu memiliki sudut pandangnya sendiri. Bahkan di dalam satu disiplin ilmu terdapat perbedaan karena pendekatan yang digunakan berbeda. Dalam disiplin ilmu psikologi misalnya, mungkin saja mereka yang tertarik dengan persoalan emosi akan mendefinisikan berbeda dengan mereka yang tertarik pada persoalan kesehatan mental. Salah satu definisi konsep budaya adalah yang dikemukakan Koentjaraningrat (2002) yang mendefinisikannya sebagai seluruh total dari pikiran, karya, dan hasil karya manusia yang tidak berakar kepada nalurinya, dan yang karena itu hanya bisa dicetuskan oleh manusia sesudah proses belajar. Definisi tersebut mendominasi pemikiran dalam kajian-kajian budaya di Indonesia sejak tahun 70-an, sejak buku ‘Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan’ diterbitkan. Budaya dalam definisi diatas berarti mencakup hampir keseluruhan dimensi kehidupan manusia. Asalkan sesuatu yang dilakukan manusia memerlukan belajar maka hal itu bisa dikategorikan sebagai budaya. Hanya sebagian kecil dimensi manusia yang tidak dicakup dalam konsep budaya, yakni yang terkait dengan insting serta naluri. Hal serupa dikemukakan oleh Van Peursen (1988) yang menyatakan kebudayaan sebagai proses belajar yang besar. Sedemikian luasnya konsep budaya, maka untuk memahaminya konsep tersebut kemudian dipecah-pecah ke dalam unsur-unsurnya. Koentjaraningrat (2002) memecahnya ke dalam 7 unsur, yakni sistem religi dan upacara keagamaan, sistem dan organisasi kemasyarakatan, sistem pengetahuan, bahasa, kesenian, sistem mata pencaharian hidup dan sistem teknologi dan peralatan. Ketujuh unsur itulah yang membentuk budaya secara keseluruhan. Definisi lainnya diberikan oleh Herskovits, yang mendefinisikan budaya sebagai hasil karya manusia sebagai bagian dari lingkungannya (culture is the human-made part of the environment). Artinya segala sesuatu yang merupakan hasil dari perbuatan manusia, baik hasil itu abstrak maupun nyata, asalkan merupakan proses untuk terlibat dalam lingkungannya, baik lingkungan fisik maupun sosial, maka bisa disebut budaya. Tentu saja definisi ini juga sangat luas. Namun definisi tersebut digunakan oleh Harry C. Triandis, salah seorang pakar psikologi lintas budaya paling terkemuka, sebagai dasar bagi penelitian-penelitiannya (lihat Triandis, 1994) karena definisi tersebut memungkinkannya untuk memilah adanya objective culture dan subjective culture. Budaya objektif adalah segala sesuatu yang memiliki bentuk nyata, seperti alat pertanian, hasil kesenian, rumah, alat transportasi, alat komunikasi dan sebagainya. Sedangkan budaya subjektif adalah segala sesuatu yang bersifat abstrak misalnya norma, moral, nilai-nilai, dan lainnya. Dari lingkungan psikologi, budaya juga memperoleh banyak definisi. Tiga diantara definisi yang ada tertulis pada awal artikel ini (yang sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai analogi dari budaya, atau bahasa simbolik dari budaya ketimbang sebuah definisi). Misalnya Triandis memandang budaya memiliki kerja yang persis sama seperti halnya memori bagi individu. Kita tahu bahwa memori adalah bagian yang sangat vital dalam kehidupan seorang individu. Tanpa memori seorang individu tidak pernah bisa belajar apapun juga. Hal itu berarti kematian bagi manusia, karena tidak ada satupun ketrampilan untuk hidup yang dapat dikuasai. Memorilah yang menentukan segala pikiran dan perilaku manusia. Demikian juga masyarakat bisa tumbuh dan berkembang karena adanya budaya. Tanpanya, tidak akan ada masyarakat. Itu artinya tidak ada juga yang namanya manusia seperti diri kita sekarang. Shinobu Kitayama menganalogikan peran budaya bagi manusia seperti peran air bagi ikan. Tanpa air ikan mati, manusia pun akan menjadi bukan manusia tanpa budaya. Sebagaimana air menentukan kehidupan ikan, budaya menentukan seperti apa kehidupan yang dijalani manusia. Air yang berbeda akan membuat ikan berperilaku beda. Demikian juga budaya yang berbeda akan membuat manusia berbeda. Analogi dari Hofstede sangat menarik. Ia memakai perumpamaan komputer untuk menjelaskan peran budaya bagi kehidupan manusia. Software, kita tahu adalah program yang membuat sebuah komputer bekerja. Tanpa software, komputer hanya seonggok benda mati yang tidak berguna. Software-lah yang menentukan kerja komputer. Jadi pastilah Hosftede ingin menegaskan betapa pentingnya budaya ketika ia menganalogikan budaya sebagai ‘software of the mind.’ Budaya adalah penggerak manusia. Tanpanya, manusia sekedar makhluk tanpa makna. Dari tiga analogi budaya yang dikemukakan oleh ilmuwan psikologi diatas, terlihat betapa pentingnya sebuah budaya. Ketiganya mengatakan kepada kita bahwa aspek psikologis manusia tidak dapat dilepaskan dari budaya. Seperti juga yang diungkapkan Matsumoto (2002) ‘culture played as basic and important a role in understanding and contributing to human behavior as did any other influences on our lives, and to gradually understand its pervasive and profound influence on psychological processes in all areas of functioning.’ Sesuatu yang sedikit ironis jika mengingat kecenderungan etnosentrik dalam perkembangan ilmu psikologi. Hampir semua yang berasal dari Amerika Utara dan Eropa Barat nyaris selalu diklaim bernilai universal (lihat Smith & Bond, 1994). Untunglah saat ini terjadi kecenderungan dimana budaya sangat diperhatikan. Triandis (2002) misalnya menegaskan bahwa psikologi sosial hanya bermakna bila berlaku lintas budaya. Triandis (1994) mencatat sekurangnya ada tiga ciri dari definisi-definisi budaya yang ada, yakni bahwa budaya terbentuk melalui interaksi yang berkesinambungan yang saling mempengaruhi dan terus menerus berubah (adaptive interactions), merupakan sesuatu yang ada pada seluruh kelompok budaya bersangkutan (shared elements) dan dialihkan dari satu waktu ke waktu berikutnya, dari generasi ke generasi (transmitted accross time periods and generations). Van Peursen (1988) menjelaskan bahwa proses pengalihan itu dimungkinkan melalui proses belajar sebab adanya fasilitas bahasa. Tanpa bahasa, proses pengalihan itu tidak akan terjadi. Dari keterangan diatas, saya kira cukup terang pada kita bahwasanya sebuah konsep budaya mestilah berarti aktivitas. Budaya bukanlah sesuatu yang statik. Van Peursen (1988) menegaskan kepada kita bahwa budaya semestinya diperlakukan sebagai kata kerja, bukannya kata benda. Sebab budaya terus menerus berubah. Bahkan meskipun itu adalah sebuah tradisi. Lihatlah sekeliling kita, adakah tradisi yang tidak berubah sama sekali? Ratner (2000), salah seorang pakar psikologi budaya menyusun bagaimana seharusnya sebuah konsep budaya. Ia memproposisikan empat buah prasyarat bagi sebuah konsep budaya yang baik, yakni: a. Mendefinisikan sebab musabab dari fenomena budaya. b. Mengidentifikasi subkategori dari fenomena-fenomena budaya c. Mengidentifikasi bagaimana fenomena-fenomena itu saling berhubungan d. Menerangkan hubungan budaya dengan fenomena lain, seperti biologi dan ekologi. Empat syarat konsep budaya yang dikemukakan Carl Ratner diatas, menekankan pada fenomena budaya sebagai unsur dari budaya. Lalu apa sebenarnya fenomena budaya? Ratner (2000) mengemukakan adanya lima fenomena budaya yang utama (bandingkan dengan unsur budaya yang dikemukakan Koentjaraningrat), yakni: 1. Aktivitas budaya (misalnya pengasuhan anak dan pendidikan anak, pembuatan kebijakan, pemeliharaan kesehatan, dan sebagainya). Melalui aktivitas budaya, manusia berupaya untuk survive dan berkembang. 2. Nilai-nilai, skema, makna, dan konsep budaya. Misalnya, makna waktu dan umur berbeda-beda antar budaya. 3. Artifak fisik yang dikontruksi dan digunakan bersama, seperti alat-alat rumah tangga, buku, rumah, senjata dan sebagainya. 4. Fenomena psikologis (emosi, persepsi, motivasi, penalaran logis, intelejensi, memori, kesehatan mental, imajinasi, bahasa dan kepribadian yang dibentuk secara kolektif) 5. Agensi. Fenomena budaya dibentuk dan terus diubah oleh manusia sehingga manusia berperan sebagai agensi. Manusia yang menjadi agensi ini secara langsung membentuk fenomena budaya yang mana dia juga dipengaruhi oleh aktivitas budaya, nilai-nilai, artifak dan psikologi. Sumber : http://psychologymania.wordpress.com/2011/07/12/budaya-dan-hubungannya-dengan-psikologi Tranmisi Budaya dan Biologis serta awal perkembangan dan pengasuhan Awal terbentuknya culture bound syndrome Stress budaya dapat dialami individu atau kelompok dalam masyarakat, saat kebudayaan memberikan tekanan-tekanan baik secara langsung maupun tidak langsung. Seperti sebuah kebudayaan yang melalui aturan-aturan serta sangsi-sangsinya membuat para penganutnya terikat kedalam dan tidak memungkinkan penganutnya untuk bertindak di luar form baku yang telah ditetapkan. Dalam menghadapi stress, individu selain mengerahkan pertahanan psikologis (psychological defenses), juga mengerahkan pertahanan budayanya (culture defenses) yaitu dalam bentuk “sistem kepercayaan”, dalam upaya adaptasinya. Misalnya, terbentuknya organisasi dari suku-budaya tertentu di kotakota besar atau timbulnya kelompok aliran agama dan kepercayaan baru, merupakan cara budaya untuk menolong individu yang mengalami konflik dan stress. Adanya kepercayaan dan ritual budaya untuk mengurangi ketegangan merupakan faktor penting dalam menentukan berapa besarnya stress budaya tersebut. Jelaslah bahwa berbagai budaya menyokong atau memperkuat berbagai corak psikopatologik dan menyediakan berbagai peranan untuk mengekspresikannya. Sumber stress budaya dapat berupa: 1. Perubahan budaya yang cepat dan penyakit kejiwaan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, 2. Kontak dan interaksi antar budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi. Contoh Beberapa penemuan dalam studi Etnopsikiatri di Indonesia berkaitan dengan stres budaya dapat dikemukakan sebagai berikut: 1. Gunawan dan Banunaek (1968) melaporkan bahwa pada tahun 1964, sebanyak 10,14% pengunjung poliklinik psikiatri di RSCM Jakarta berasal dari suku Minangkabau, dengan psikoneurosis 45,48% dan psikosomatik 15,80%. Berdasarkan kasus ini dapat disimpulkan adanya stres budaya dalam 3 bentuk, yaitu: (1) pertentangan antara generasi tua (nilai lama) dengan generasi muda (nilai baru), (2) pertentangan antara agama dan adat dengan pendidikan dan pandangan modern, dan (3) pertentangan antara adat yang dibawa dengan adat yang didatangi. 2. Harahap (1969) melakukan penelitian komparatif mengenai kasus Etnopsikiatri di RSCM Jakarta antara suku Minangkabau dan Batak. Ia melaporkan bahwa pada suku Batak, kasus kebanyakan adalah laki-laki, sedangkan pada suku Minangkabau kasus kebanyakan adalah wanita. Menurutnya, hal ini berkaitan erat dengan peranan laki-laki dalam kebudayaan Batak (patrilineal) dan peranan wanita dalam kebudayaan Minangkabau (matrilineal), yang merupakan sumber stress. 3. Atmodirjo dan Salam (1969) mendeskripsikan mengenai kasus psikosis (acute schizoprenic reaction) pada seorang wanita suku Batak yang berusia 21 tahun, yang baru menjalani kawin paksa menurut adat Tapanuli dengan seorang anak laki-laki dari saudara perempuan ayahnya (asymmetric cross cousin marriage system). Kepatuhan pada adat menimbulkan stres bagi wanita tersebut sampai pada taraf psikotik. Dengan pendekatan “socio-cultural action” ternyata dapat menanggulangi kasus tersebut. 4. Sukirno (1973) melaporkan tiga kasus dari keturunan Arab yang mengalami stres budaya dan memunculkan gangguan jiwa, yaitu dalam bentuk: anxietydepressive reaction, psychotic reaction, dan depressive reaction. Keturunan Arab di Indonesia telah mengalami akulturasi, namun masih kuat memegang adat-istiadat atau budaya asalnya. 5. Gunawan (1980) telah mengidentifikasi beberapa kasus stress budaya pada masyarakat Irian Jaya, yang dapat memunculkan berbagai gangguan jiwa, yaitu: (1) urbanisasi (perubahan pola hidup), (2) perbedaan budaya antara penduduk pendatang dan asli, (3) suami-istri dengan tingkat pendidikan dan latar belakang sosio-budaya yang berbeda, (4) konflik antara generasi tua dan muda, (5) pelanggaran terhadap adat (tabu), dan (6) kepercayaan terhadap ilmu hitam. Jenis-Jenis Culture Bound Syndrome and Psychopathology A. Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Indonesia WHO (World Health Organization) menyatakan bahwa ciri-ciri orang yang sehat dan kurang sehat jiwa di antaranya selalu diliputi oleh suasana kekhawatiran dan kegelisahan. Kemudian, ia mudah marah karena hal-hal yang sepele dan menyerang orang lain karena kemarahannya. Permusuhan, kebencian, sukar memaafkan orang lain merupakan suatu penyakit kejiwaan. Begitupun ketika tidak mampu menghadapi kenyataan hidup, tidak realistik, karenanya ia sering lari dari kenyataan dengan cara selalu menyalahkan orang lain (proyeksi) walaupun sebenarnya sumber kesalahan adalah dirinya. Tiga faktor utama yang menjadi pencetus gangguan jiwa, yaitu: 1. genetik (internal), 2. pola asuh dan pola didik yang kurang baik (salah) karena anak terlalu dimanja dan dikerasi (otoriter/diktator), 3. serta lingkungan sebagai stresor seperti yang dikatakan Hidayat dalam Arianto (2004) Adanya suatu tekanan (pressure) dari lingkungan hanya bisa diobservasi dari reaksi patologik dari pihak individu yang bersifat biologis dan psikologis. Jelas bahwa stressnya sendiri tidak menentukan (non-spesifik), melainkan reaksi terhadap stress tersebut merupakan faktor penentu bagi timbulnya gangguan jiwa seperti yang ijelaskan oleh Maslim (1987). Seperti yang telah saya jelaskan diatas bahwa gangguan jiwa ini dapat berasal dari depresi akibat lingkungan sosio kultural dimana manusia tersebut tinggal. Sumber dari stress budaya seperti yang disebutkan Maslim (1987) dapat berupa: (1) perubahan budaya yang cepat dan kehilangan budaya lama, misalnya pada urbanisasi dan modernisasi, (2) Kontak dan interaksi budaya, misalnya kawin antar suku, agama, ataupun transmigrasi Relativitas yang ada dalam berbagai budaya memberikan reaksi yang berbeda pula terhadap berbagai gejala gangguan jiwa. Ada gejala yang ditoleransi, diperkuat atau disokong, sehingga individu yang memperlihatkan gejala tersebut tampaknya tidak menderita dan tidak dianggap “sakit”. Sebaliknya, bila gejalagejala tersebut dianggap menyimpang dan tidak dapat ditoleransi, individu pembawa gejala tersebut tampak sangat menderita. Ini berarti, individu-individu dengan gangguan jiwa yang mirip bisa diberi fungsi dan peranan yang berbeda dalam berbagai budaya dimana mereka tinggal Kelompok diagnostik ini lebih dikenal dengan sebutan “culture bound syndrome”, yaitu suatu “sindroma sakit jiwa yang diakibatkan karena kondisi lingkungan budaya dimana si penderita tinggal ” dan hanya terbatas pada budaya tertentu serta diberi nama oleh budaya tersebut. Maslim (1987 dalam Arianto 2004:5-8) pemberian nama gangguan jiwa biasanya sesuai dengan budaya mereka masing-masing seperti misalnya: 1. Kesurupan (umum) Kesurupan berasal dari bahasa Jawa yang berarti kemasukan sesuatu hal yang gaib. Kesurupan memang selalu dikaitkan dengan fenomena gaib, yaitu seseorang yang kerasukan makhluk halus sehingga manusia yang kerasukan mempunyai kepribadian ganda dan mulai berbicara sebagai individu lain. Menurut ilmu medis modern, kondisi ini adalah suatu keadaan perubahan kesadaran yang disertai tanda–tanda yang tergolong dalam gangguan disosiatif atau kepribadian ganda atau dapat pula merupakan gejala serangan akut dari gangguan psikotik schizophreniform. Masyarakat JawaTimur misalnya selalu menggunakan bantuan para dukun atau kyai dalam mengobati seseorang yang kesurupan. Dukun atau kyai menggunakan efek-efek sound therapy dengan membacakan suluk dan para kyai biasanya membacakan doa-doa dalam bahasa arab. Menurut pandangan mereka suluk maupun doa mampu mengusir roh halus yang masuk dan menguasai raga dari penderita kesurupan. Foster dan Anderson (1986) menjelaskan mengenai cara pengobatan dukun (Shaman): “…banyak komunikasi verbal yang berlangsung adalah antara penyembuh dengan roh-roh dan bila melibatkan pasien secara langsung, komunikasi itu ditujukan kepadanya dan tidak memerlukan suatu jawaban.. Memang ada kesamaan verbal, tentunya, terutama yang berhubungan dengan pengakuan, yang merupakan elemen pokok dari beberapa masyarakat non-barat…” Suluk ataupun doa yang diucapkan atau dilantunkan dengan intonasi yang baik dan teratur merupakan sound therapy sehingga dapat menimbulkan ketenangan gangguan kejiwaan seseorang dengan ciri banyak mendengar suara-suara atau teriakan di dalam dirinya Suluk adalah mantra yang dilantunkan dalam bentuk tembang mempunyai nada, intonasi dan ritme yang teratur tersendiri bagi si penderita. Kalangan bangsa Barat menyebut kesurupan dengan nama “exorcist”. Beberapa contoh penelitian mengenai kesurupan adalah sebagai berikut. • Prayitno dan Banunaek (1968) melaporkan kasus seorang wanita sekolah perawat gigi di Jakarta yang mengalami sakit perut, pingsan, dan tidak ingat. Sesudah sadar, ia tidak ingat kejadian tersebut dan merasa seperti dalam keadaan tidur. Kejadian ini berulang setiap hari Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon. • Djamaludin (1971) melaporkan mengenai fenomena hasolopan pada suku Batak di Medan, yang mirip dengan kesurupan. Fenomena semacam ini lebih sering dialami wanita dari pada pria, kebanyakan anak-anak pubertas, terjadi pada semua strata sosial, perasaan frustasi dan depresi. Penderita seolah-olah hidup dalam dua dunia (gaib dan nyata). • Manus (1971) melaporkan fenomena kesurupan yang disengaja dilakukan oleh tonaas dengan tujuan pengobatan. Tonaas adalah orang yang dikaruniai kemampuan yang dapat berkomunikasi dengan arwah nenek moyang (opoopo), yang dianggap mempunyai kekuatan magis-mistik. 2. Bebainan (Bali) Bebainan adalah kemasukkan “bebai“, yaitu roh yang dapat menguasai manusia, menyakiti, atau membunuh. Bebai diperoleh dengan pemeliharaan dari kecil sampai dewasa, kemudian siap dipakai oleh yang memelihara. Yang dapat mengobati bebainan adalah “balian“ (dukun). Gejalanya adalah perubahan kesadaran, tingkah laku agitatif yang terjadi mendadak, disertai kebingungan, halusinasi dan gejolak emosi. Episode ini cepat menghilang dan disertai periode amnesia. Contoh penelitian mengenai bebainan ini adalah dari Suryani (1981) mengenai fenomena bebainan di beberapa desa di Bali. Suryani melaporkan bahwa lebih sering wanita usia muda atau belum kawin pernah mengalami bebainan. Hal ini disebabkan oleh pengaruh hari raya Bali dan stress emosional. 3. Cekik (Jawa Tengah) Cekik adalah suatu histeria konversi dengan kejang–kejang seluruh badan dan kesadaran menurun, sebelum jatuh kejang selalu menunjukkan seperti orang tercekik lehernya. Sebagian besar mengalami halusinasi visual menjelang atau saat serangan. Terjadi di desa Babalan, kecamatan Wedung, kabupaten Demak, Jawa Tengah, pada setiap tahun dalam bulan puasa menjelang lebaran. Santoso dan Pranowo menyebutnya sebagai “sindroma tekak“. Contoh penelitian mengenai cekik ini adalah penelitian Sumitro (1981) di desa Babalan, dan melaporkan bahwa wanita lebih sering mengalami cekik dari pada pria, hampir merata pada umur dewasa, tingkat pendidikan dan sosial-ekonomi rendah, serta berhubungan dengan kepercayaan mistik bahwa roh halus akan mengambil orang-orang tertentu di desa. Ternyata epidemi ini hilang dengan sendirinya sesudah bulan Puasa terlewati. Masyarakat lokal Demak manganalisa fenomena cekik sebagai gangguan dari hantu cekik yang muncul setahun sekali. Analisa tersebut terjadi karena kurangnya pengetahuan masyarakat akan penyakit-penyakit gangguan kejiwaan akibat budaya. 4. Koro (Sulawesi Selatan) Koro adalah sindroma anxietas yang mendadak sampai dengan panik disebabkan oleh adanya waham bahwa alat kelaminnya akan mengkerut masuk dan menghilang ke dalam tubuhnya sehingga dirinya akan mati, pada umumnya terjadi pada laki–laki. Orang itu berusaha mencegah dengan cara memegang erat– erat alat kelaminnya atau mengikat dengan tali, kalau perlu minta bantuan orang lain memegang alat kelaminnya secara terus menerus. Dalam keadaan koro, orang–orang jenis kelamin berlawanan dilarang berada di sekitar pasien, oleh karena dapat menyebabkan kematiannya. Serangan ini pada suatu saat dapat menghilang sendiri dan pasienpun menjadi tenang kembali. Contoh beberapa penelitian mengenai koro ini adalah sebasgai berikut. • Baasir (1974) melaporkan mengenai penelitiannya di Sulawesi Selatan. Ia berpendapat perlunya dibedakan antara “ koro like symdrome” dengan gangguan koro yang murni. Koro like syndrome merupakan tambahan gejala dari gangguan jiwa lain, sedangkan koro murni merupakan culture bound syndrome yang terikat pada budaya. • Tanumiharja (1984) melaporkan penelitiannya di Sulawesi Selatan. Ia membantah bahwa koro hanya terjadi pada orang keturunan Cina. Koro dalam budaya Bugis dianggap penyakit syaraf yang tegang, yang disebabkan oleh kelelahan fisik dan mental (alat kelamin adalah simbol vitalitas). 5. Amok ( Umum) Amok terjadi pada suatu episode tunggal dimana terdapat kegagalan menekan impuls atau rangsangan, yang mengakibatkan suatu tindak kekerasan yang ditujukan ke luar dirinya sehingga mengakibatkan malapetaka bagi orang lain. Derajat tindak kekerasan yang terjadi sangat hebat bila dibandingkan dengan stressor psikososial yang mendahuluinya. Setelah episode itu selesai, pasien tenang kembali dan menyesal. Ia mengalami amnesia tentang sebagian atau seluruh perbuatannya itu. Maretzki (1981) dalam mengulas masalah budaya dan psikopatologi di Indonesia mengemukakan bahwa gangguan ini cukup sering ditemukan dan mempunyai dampak sosial yang serius, gangguannya dapat dibagi dalam lima fase, yaitu: 1. prodromal state of neurasthenic nature, chronic illness, lost of sense of sosial order, 2. acute physical and psychological tension, 3. a state of meditation, experience of increasingly threatening external pressure which causes fright or rage, 4. the sudden explosive amok behaviour which includes attack and destruction of people, animals, objects and perhaps self, 5. stupor or deep sleep with a depressive after state, with amnesia for the amok phase. Ia menghubungkan fenomena amok ini dengan sifat orang Indonesia yang tidak suka mengekspresikan emosinya, sehingga suatu saat menjadi “mata gelap“. Menurut Arianto (2004) Amok tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan terjadi juga di Malaysia, Singapore dan negara-negara Melayu lainnya. 6. Latah (Umum) Latah adalah suatu keadaan yang sering timbul pada wanita setengah tua, tidak bersuami yang biasanya berasal dari kalangan rendah dengan kehidupan dan cara berpikir yang sederhana, gejalanya sering diawali dengan mimpi–mimpi tentang alat kelamin laki–laki atau sesuatu yang melambangkan alat kelamin yang bergantungan di dinding atau di dalam kamar tidurnya, dan apabila ia dikagetkan oleh suara atau gerakan ia segera bereaksi koprolalia, echolalia atau echopraxia (hiper sugestibilitas). Setelah episode ini berakhir, ia merasa malu, menyesal dan minta maaf atau menyalahkan orang yang telah mengejutkan dirinya. Oleh masyarakat keadaan ini tidak dianggap sebagai gangguan jiwa dan terbanyak terdapat di pulau Jawa. Contoh penelitian mengenai latah ini adalah dari Soestiantoro (1985) yang mengulas latah secara historis dengan mengambil kasus di Palembang. Menurutnya, fenomena latah belum banyak diketahui, baik mengenai mekanisme psikopatologinya maupun hubungan dengan masalah budaya yang kompleks. Namun akhir dekade ini latah seakan menjadi suatu trend di kalangan anak muda, karena dianggap sebagai hal yang lucu dan gaul. Menurut analisa penulis, fenomena trend latah ini tidak lepas dari perkembangan dunia hiburan pertelevisian. Para public figure seakan memakai latah sebagai alat untuk melucu, sehingga masyarakatpun dengan mudah meniru dan menganggap latah sebagai “penyakit yang keren”. Latah sendiri juga bisa terjadi dengan sengaja, saat seseorang ingin eksistensinya diakui di masyarakat, dia berpura-pura menjadi seorang yang latah saat dikejutkan agar dilabeli sebagai orang yang lucu dan gaul. Saat kejadian tersebut berlangsung kontinum, maka latah dalam arti penyakit kejiwaan yang asli akan timbul dalam individu tersebut. 7. Gemblakan (Jawa Timur) Gemblakan adalah suatu aktivitas homoseksual di kalangan pemuda yang diterima oleh tradisi masyarakat setempat di Ponorogo, Jawa Timur. Aktivitas ini akan berakhir setelah mereka kawin. Contoh penelitian mengenai gemblakan adalah dari Yusuf dan Husodo (1982) di desa Bancar, Kabupaten Ponorogo. Mereka menemukan bahwa gemblakan tersebut mempunyai dampak positif dalam masyarakat, dengan timbulnya rasa kekeluargaan dan gotong royong. Karena orang yang melakukan gemblakan biasanya orang-orang berpengaruh di kampung setempat, sehingga yang di gemblak merasa bangga. 8. Ludruk (Jawa Timur) Ludruk adalah kesenian panggung Jawa Timur, dahulu semua pemainnya adalah pria, termasuk mereka yang memainkan peranan wanita, sebagian tergolong dalam “male transvestite“,“ wedhokan ludruk ” atau dalam bahasa Indonesia berarti wanita ludruk. Jadi, dalam hal ini seorang pria yang memerankan peran wanita baik dalam karakter fisik maupun tingkah laku dengan alasan apapun juga dianggap mempunyai sutau gangguan jiwa yang disebut dengan ludruk. sampai-sampai dalam masyarakat Jawa Timur, seorang pria yang berpenampilan seperti wanita disebut Contoh penelitian mengenai ludruk adalah dari Prasadio (1972) pada 38 pemain ludruk di Jawa Timur. Sekarang ini kesenian ludruk mengalami perkembangan dengan mengambil wanita asli untuk memerankan tokoh wanita. Pemain ludruk wanita yang terkenal saat ini adalah Kastini dari Surabaya. B. Jenis-jenis culture bound syndrome and Psychopathology yang ada di Belahan Dunia 1. Amok Terjadi pada laki-laki di bagian Tenggara Asia, pulau-pulau Pasifik, Puerto Riko, Navajo di Barat. Di Malaysia = amoq. Orang normal tiba-tiba gelap mata, memukul orang lain/objek bahkan membunuh. Selama episode, subjek merasa bertindak otomatis. Sering disertai dengan persepsi dikejar-kejar. Setelah kejadian, kembali normal -> disosiatif. Penderita tiba–tiba mengamuk, berteriak, merusak, membunuh, berlarian, tanpa sebab tapi diawali dengan melamun dan sedih lalu diakhiri dengan lelah, amnesia dan kemudian sering bunuh diri. Kesurupan : reaksi disosiatif. 2. Ataque de nervios Ditemukan Amerika Latin dan Mediterania Latin. Berteriak tak terkendali, menangis tersedu-sedu, gemetaran, merasa hangat/panas yg naik dari dada ke kepala & perilaku fisik/verbal agresif. Didahului peristiwa stres tentang keluarga & disertai perasaan hilang kendali. Setelah serangan, akan kembali normal. Bisa juga mengalami anemsia setelahnya -> distres emosional 3. Sindrom dhat Ditemukan pada laki-laki India. Kecemasan/ketakutan intens atas habisnya air mani melalui mimpi basah, ejakulasi keluar bersama urin. Di India ada kepercayaan bahwa hilangnya air mani menghabiskan energi alami vital laki2 -> kecemasan. 4. Jatuh pingsan Ditetemukan di Amerika selatan dan Karibia. Tiba-tiba jatuh lemas dan pingsan mendadak. Serangan bisa terjadi tanpa gejala awal seperti pusing/perasaan mengambang dikepala. Walau mata terbuka, subjek bisa tidak melihat. Subjek bisa mendengar orang lain dan memahami apa yang terjadi tapi merasa tidak berdaya untuk bergerak. 5. Ghost sickness Di temukan pada populasi Indian Amerika. Melibatkan fokus dengan kematian dan roh orang mati. Simtom: mimpi buruk, merasa lemah, hilang selera, ketakutan, kecemasan dan firasat buruk. Mungkin muncul halusinasi, hilang kesadaran dan keadaan kebingungan 6. Koro Ditemukan di Cina dan Asia Selatan dan Timur. Kecemasan akut disertai ketakutan bahwa alat kelamin seseorang (penis pada laki2 dan vulva serta putting pada wanita) menyusut dan melesak ke dalam badan dan akibatnya mungkin kematian. 7. Zar Ditemukan di Afrika Utara dan Timur Tengah. Kerasukan roh. Ditandai oleh periode teriakan, membenturkan kepala ke dinding, tertawa, menyanyi atau menangis. Orang-orang ini mungkin tampak bersikap masa bodoh atau menarik diri menolak makan atau tidak melakukan tanggung jawab yang biasa -> disosiatif 8. Taijin-kyofu-sho Ditemukan di Jepang. Sindrom psikiatrik yang melibatkan ketakutan berlebihan karena menyinggung atau membuat malu orang lain. Takut bahwa ia akan menggumamkan pikirannya dengan suara keras, kalau2 ia secara tidak sengaja menyinggung orang lain. 9. Hikikomori Ditemukan di Jepang. Biasanya dialami anak muda. Sindrom penarikan sosial secara ekstrem. Rata-rata berusia 13-15 tahun, pada suatu hari masuk ke kamar mereka dan tidak mau keluar lagi hingga bertahun-tahun yang pada banyak kasus bertahan hingga lebih dari 10 tahun.Masuk kamar dan tidak keluar lagi. Meninggalkan dan menutup diri dari dunia luar. Kebanyakan menghabiskan waktu dengan bermain game atau musik, atau menghabiskan waktu di depan komputer dan entah apa lagi yang mereka kerjakan di dalam kamarnya. 10. Piblokto Ditemukan pada orang-orang suku Eskimo. Ditandai dengan Kesurupan atau keadaan trans biasa pada pria dan wanita. dan Agresif, berteriak, membuka atau merusak bajunya, berguling-guling, berlarian. Sesudah 1-2 jam normal kembali dengan amnesia. 11. Wihtigo atau Windigo Ditemukan pada populasi suku Indian. Ditandai dengan Psikotik, kanibalisme, waham, eksitasi, takut, Kesurupan: Psikosis, Jadi-jadian (monster pemakan daging), Depresi berat, Histerik, 12. Voodoo Ditemukan di Black Ghetto, Negro (Afrika), Polynesia (Haiti), juga ditemukan di Amerika Selatan, Australia, New Zaeland, Kepulauan Pasifik, Ceylon). Ditandai dengan Waham dirasuki, kejang- kejang, menari histerik dan ritmik, eksitasi, keadaan trans. Kesurupan : keadaan histerik, keadaan psikotik. Beranggapan bahwa roh jahat menguasai pasien 13. Arctic Hysteria Ditemukan pada psuku Eskimo. Description: Convulsive hysterical attacks, sometimes conversion symptoms, following the actual or symbolic loss of someone or something important. Sumber : http://www.psychologymania.com/2011/09/patologi-terkait-budaya-culture-bound.htm

Jumat, 09 Maret 2012

fenomena kesehatan mental

HOMOSEKSUAL
Homoseksualitas adalah rasa ketertarikan romantis dan/atau seksual atau perilaku antara individu berjenis kelamin atau gender yang sama. Sebagai orientasi seksual, homoseksualitas mengacu kepada "pola berkelanjutan atau disposisi untuk pengalaman seksual, kasih sayang, atau ketertarikan romantis" terutama atau secara eksklusif pada orang dari jenis kelamin sama, "Homoseksualitas juga mengacu pada pandangan individu tentang identitas pribadi dan sosial berdasarkan pada ketertarikan, perilaku ekspresi, dan keanggotaan dalam komunitas lain yang berbagi itu."
Homoseksualitas adalah salah satu dari tiga kategori utama orientasi seksual, bersama dengan biseksualitas dan heteroseksualitas, dalam kontinum heteroseksual-homoseksual. Konsensus ilmu-ilmu perilaku dan sosial dan juga profesi kesehatan dan kesehatan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas adalah aspek normal dalam orientasi seksual manusia. Homoseksualitas bukanlah penyakit kejiwaan dan bukan penyebab efek psikologis negatif; prasangka terhadap kaum biseksual dan homoseksual-lah yang menyebabkan efek semacam itu.
Istilah umum dalam homoseksualitas yang sering digunakan adalah lesbian untuk perempuan pecinta sesama jenis dan gay untuk pria pecinta sesama jenis, meskipun gay dapat merujuk pada laki-laki atau perempuan. Bagi para peneliti jumlah individu yang diidentifikasikan sebagai gay atau lesbian-dan perbandingan individu yang memiliki pengalaman seksual sesama jenis-sulit diperkirakan atas berbagai alasan.Dalam modernitas Barat, menurut berbagai penelitian, 2% sampai 13% dari populasi manusia adalah homoseksual atau pernah melakukan hubungan sesama jenis dalam hidupnya. sebuah studi tahun 2006 menunjukkan bahwa 20% dari populasi secara anonim melaporkan memiliki perasaan homoseksual, meskipun relatif sedikit peserta dalam penelitian ini menyatakan diri mereka sebagai homoseksual.Perilaku homoseksual juga banyak diamati pada hewan.
Banyak individu gay dan lesbian memiliki komitmen hubungan sesama jenis, meski hanya baru-baru ini terdapat sensus dan status hukum/politik yang mempermudah enumerasi dan keberadaan mereka. Hubungan ini setara dengan hubungan heteroseksual dalam hal-hal penting secara psikologis. Hubungan dan tindakan homoseksual telah dikagumi, serta dikutuk, sepanjang sejarah, tergantung pada bentuknya dan budaya tempat mereka didapati. Sejak akhir abad ke-19, telah ada gerakan menuju hak pengakuan keberadaan dan hak-hak legal bagi orang-orang homoseksual, yang mencakup hak untuk pernikahan dan kesatuan sipil, hak adopsi dan pengasuhan, hak kerja, hak untuk memberikan pelayanan militer, dan hak untuk mendapatkan jaminan sosial kesehatan.
Psikologi adalah salah satu disiplin ilmu pertama yang mempelajari orientasi homoseksual sebagai fenomena diskrit (terpisah). Upaya pertama mengklasifikasikan homoseksualitas sebagai penyakit dibuat oleh gerakan seksolog amatir Eropa di akhir abad ke-19. Pada tahun 1886, seksolog terkemuka, Richard von Krafft-Ebing, menyejajarkan homoseksualitas bersama dengan 200 studi kasus praktik seksual menyimpang lainnya dalam karya, Psychopathia Sexualis. Krafft-Ebing mengedepankan bahwa homoseksualitas disebabkan oleh "kesalahan bawaan lahir [selama kelahiran]" atau "inversi perolehan". Dalam dua dekade terakhir dari abad ke-19, pandangan lain mulai mendominasi kalangan medis dan psikiatris , menilai perilaku tersebut menunjukkan jenis individu dengan orientasi seksual bawaan dan relatif stabil. Pada akhir abad 19 dan awal abad 20, homoseksualitas dipandang secara umum sebagai penyakit.
American Psychological Association, American Psychiatric Association, dan National Association of Social Workers berpendapat:
“ Pada tahun 1952, ketika Asosiasi Psikiatri Amerika pertama kali menerbitkan Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorders, homoseksualitas dikategorikan sebagai gangguan mental. Namun, pengklasifikasian tersebut segera menjadi sasaran pemeriksaan kritis dalam penelitian yang didanai oleh Institut Kesehatan Mental Nasional. Studi dan penelitian berikutnya secara konsisten gagal menghasilkan dasar empiris atau ilmiah yang menunjukkan homoseksualitas sebagai gangguan atau kelainan. Dari berbagi kumpulan hasil penelitian homoseksualitas, para ahli bidang kedokteran, kesehatan mental, ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku mencapai kesimpulan bahwa pengklasifikasian homoseksualitas sebagai gangguan mental tidak akurat dan bahwa klasifikasi DSM mencerminkan asumsi yang belum teruji, yang didasarkan pada norma-norma sosial yang pernah berlaku dan pandangan klinis dari sampel yang tidak representatif yang terdiri dari pasien yang mencari terapi penyembuhan dan individu-individu yang masuk dalam sistem peradilan pidana karena perilaku homoseksualitasnya.

Sebagai pengakuan bukti ilmiah, Asosiasi Psikiatri Amerika menghapuskan homoseksualitas dari DSM pada tahun 1973, menyatakan bahwa "homoseksualitas sendiri menunjukkan tidak adanya gangguan dalam penilaian, stabilitas, keandalan, atau kemampuan sosial umum atau vokasional." Setelah meninjau data ilmiah secara seksama, Asosiasi Psikologi Amerika melakukan tindakan yang sama pada tahun 1975, dan mendesak semua pakar kejiwaan "untuk memimpin menghilangkan stigma penyakit mental yang telah lama dikaitkan dengan orientasi homoseksual." Asosiasi Nasional Pekerja Sosial pun menerapkan kebijakan serupa.

Kesimpulannya, para pakar kejiwaan dan peneliti telah lama mengakui bahwa menjadi homoseksual tidak menimbulkan hambatan untuk menjalani hidup yang bahagia, sehat, dan produktif, dan bahwa sebagian besar kalangan gay dan lesbian bekerja dengan baik di berbagai lembaga sosial dan hubungan interpersonal." ”

Penelitian dan literatur klinis menunjukkan bahwa atraksi seksual dan cinta, perasaan, dan perilaku dalam konteks hubungan sesama jenis bersifat normal dan positif. Konsensus ilmu-ilmu sosial dan ilmu perilaku dan profesi kesehatan dan kejiwaan menyatakan bahwa homoseksualitas merupakan variasi normal dan positif dari orientasi seksual manusia. Kini, terdapat bukti penelitian yang menunjukkan bahwa menjadi gay, lesbian atau biseksual sesuai dengan kesehatan mental normal dan penyesuaian sosial.ICD-9 yang dikeluarkan Organisasi Kesehatan Dunia (1977) mencantumkan homoseksualitas sebagai penyakit kejiwaan; kemudian dihilangkan dalam ICD-10 yang disahkan oleh Sidang Majelis Kesehatan Dunia ke-43 pada tanggal 17 Mei 1990.Seperti DSM-II. ICD-10 menambahkan orientasi seksual ego-distonik, mengacu kepada individu yang ingin mengubah identitas gender atau orientasi seksual mereka karena gangguan perilaku agtau psikologis( F 66,1 ). Masyarakat Psikiatri China menghapuskan homoseksualitas dari Klasifikasi Gangguan Mental China pada tahun 2001, lima tahun setelah dilakukan studi oleh asosiasi tersebut. Menurut Royal College of Psychiatrists "sejarah buram ini menunjukkan bagaimana marjinalisasi terhadap sekelompok orang yang memiliki ciri-ciri kepribadian tertentu (dalam hal ini kasus homoseksualitas) dapat menyebabkan praktik medis berbahaya dan dasar diskriminasi di masyarakat. Namun, pengalaman diskriminasi dalam masyarakat dan kemungkinan penolakan oleh sebaya, kerabat, dan yang lainnya, seperti kolega, mengakibatkan sejumlah individu LGB mengalami kendala kesahatan mental dan masalah penyalahgunaan obat yang lebih kuat ketimbang rata-rata. Meskipun ada klaim dari kelompok-kelompok politik konservatif di Amerika Serikat bahwa tingginya kendala kesehatan mental adalah bukti bahwa homoseksualitas itu sendiri merupakan gangguan mental, tidak ada bukti apapun yang dapat mendukung klaim seperti itu."
Kebanyakan individu lesbian, gay, dan biseksual menjalani psikoterapi dengan alasan sama seperti individu heteroseksual (stres, hubungan kesulitan, kesulitan menyesuaikan diri dengan situasi sosial atau tempat kerja, dll); orientasi seksual mereka mungkin penting, sepele, atau tidak penting bagi perlakuan dan pokok permasalahan mereka. Apapun masalahnya, ada risiko tinggi prasangka anti-gay terhadap klien psikoterapi yang lesbian, gay, dan biseksual.Penelitian psikologis untuk hal ini telah membantu melawan sikap dan tindakan berprasangka ("homofobia") yang merugikan, dan secara umum membantu gerakan perjuangan hak-hak LGBT.

Penerapan psikoterapi yang disetujui harus didasarkan pada fakta-fakta ilmiah berikut:
* Ketertarikan seksual, perilaku, dan orientasi sesama jenis merupakan varian seksualitas manusia yang bersifat normal dan positif, tidak menunjukkan gangguan mental atau perkembangan.
* Homoseksualitas dan biseksualitas dianggap buruk, dan stigma ini dapat memiliki berbagai konsekuensi negatif (misalnya, stres minoritas) sepanjang rentang kehidupan (D'Augelli & Patterson, 1995; DiPlacido, 1998; Herek & garnet, 2007; Meyer, 1995, 2003 ).
* Perilaku dan ketertarikan seksual sesama jenis dapat terjadi dalam konteks ragam orientasi seksual dan identitas orientasi seksual (Diamond, 2006; Hoburg et al, 2004;. Rust, 1996; Savin-Williams, 2005).
* Individu-individu gay, lesbian, dan biseksual dapat hidup bahagia dan memiliki hubungan dan keluarga yang stabil dan berkomitmen, setara dengan hubungan heteroseksual dalam pokok-pokok penting (APA, 2005c; Kurdek, 2001, 2003, 2004; Peplau & Fingerhut, 2007) .
* Tidak ada studi empiris atau penelitian ulasan sepadan (peer-review research) yang mendukung teori yang mengaitkan orientasi seksual sesama jenis dengan disfungsi keluarga atau trauma (Bell dkk, 1981;. Bene, 1965; Freund & Blanchard, 1983; Freund & Pinkava, 1961; Hooker, 1969; McCord et al, 1962;. DK Peters & Cantrell, 1991; Siegelman, 1974, 1981;. Townes et al, 1976).
sumber : http://id.wikipedia.org/wiki/Homoseksualitas


Sumber : http://putintan.blogspot.com/2012/03/contoh-kesehatan-mental-di-masyarakat.html

Kesehatan mental dibedakan menjadi dua yaitu mental yang sehat dan yang teganggu. Pada seseorang yang bermental sehat bila dihadapkan pada permasalahan akan berpikir realistik dan objektif berbeda dengan yang bermental terganggu, seseorang dengan mental terganggu akan cenderung berpikir subjektif dan tidak realistik.
Contoh yang diambil di masyarakat sangat banyak. Sebagai contohnya, belakangan ada pencuri yang tertangkap kamer CCTV sedang mencuri tanpa busana sehelaipun. Dapat dilihat bahwa adanya tekanan pada diri atau stress yang diakibatkan kekurangan secara ekonomi, membuat seseorang dapat kehilangan pikiran jernihnya dengan mempercayai hal-hal yang tidak dapat diterima dengan akal sehat bahwa dengan memiliki ilmu tertentu yang menganjurkan mencuri tanpa busana akan menghilangkan jejak pencurian.
Contoh lainnya adalah anak remaja yang sering sekali ditindas temannya di sekolah akan merasa depressi dan emosinya bisa memuncak kapan saja dan melakukan hal yang tidak diduga untuk membalaskan dendamnya. Atau bahkan menarik diri dari semua kehidupan sosialnya karena trauma yang didapat.


Sumber:http://afzelia-nadira.blogspot.com/2012/03/contoh-fenomena-kesehatan-mental di.html

Contoh Fenomena Kesehatan Mental Di Masyarakat
Dalam psikologi perkembangan remaja dikenal sedang dalam fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan. Fase perkembangan remaja ini berlangsung cukup lama kurang lebih 11 tahun, mulai usia 11-19 tahun pada wanita dan 12-20 tahun pada pria. Fase perkebangan remaja ini dikatakan fase pencarian jati diri yang penuh dengan kesukaran dan persoalan adalah karena dalam fase ini remaja sedang berada di antara dua persimpangan antara dunia anak-anak dan dunia orang-orang dewasa.
Kesulitan dan persoalan yang muncul pada fase remaja ini bukan hanya muncul pada diri remaja itu sendiri melainkan juga pada orangtua, guru dan masyarakat. Dimana dapat kita lihat seringkali terjadi pertentangan antara remaja dengan orangtua, remaja dengan guru bahkan dikalangan remaja itu sendiri. Mengapa hal ini bisa terjadi? Secara singkat dapat dijelaskan bahwa keberadaan remaja yang ada di antara dua persimpangan fase perkembanganlah (fase interim) yang membuat fase remaja penuh dengan kesukaran dan persoalan. Dapat dipastikan bahwa seseorang yang sedang dalam keadaan transisi atau peralihan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain seringkali mengalami gejolak dan goncangan yang terkadang dapat berakibat buruk bahkan fatal (menyebabkan kematian). Namun, pada dasarnya semua kesukaran dan persoalan yang muncul pada fase perkembangan remaja ini dapat diminimalisir bahkan dihilangkan, jika orangtua, guru dan masyarakat mampu memahami perkembangan jiwa, perkembangan kesehatan mental remaja dan mampu meningkatkan kepercayaan diri remaja.Persoalan paling signifikan yang sering dihadapi remaja sehari-hari sehingga menyulitkannya untuk beradaptasi dengan lingkungannya adalah hubungan remaja dengan orang yang lebih dewasa, terutama sang ayah, dan perjuangannya secara bertahap untuk bisa membebaskan diri dari dominasi mereka pada level orang-orang dewasa.
Seperti contoh yang diambil di masyarakat, remaja melakukan bunuh diri ketika ia hamil diluar nikah dan pasangannya pergi tanpa tanggung jawab. Ia mengalami tekanan karena harus menanggung malu dan merasa menjadi aib di keluarganya. Sehingga ia mengambil jalan pintas dan bunuh diri sebagai solusi yang tepat untuk menyelesaikan masalahnya. Padahal kenyataannya itu bukan penyelesain masalah yang tepat, ia malah melakukan hal yang berdosa.

kesehatan mental

ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang memperhatikan perawatan mental atau jiwa. Sama seperti ilmu pengetahuan yang lain, ilmu kesehatan mental mempunyai objek khusus untuk diteliti dan objek tersebut adalah manusia.
Manusia dalam ilmu ini diteliti dari titik tolak keadaan atau kondisi mentalnya. Ilmu kesehatan mental merupakan terjemahan dari istilah mental hygiene. Mental (dari kata Latin: mens, mends) berarti jiwa, nyawa, sukma, roh, semangat, sedangkan hygiene (dari kata Yunani: hugiene) berarti ilmu tentang kesehatan.
Mental hygiene sering juga disebut psikohy-giene. Psyche (dari kata Yunani: psucho) berarti napas, asas kehidupan, hidup, jiwa, roh, sukma, semangat.
Ada orang yang membedakan antara mental hygiene dan psikohygiene. Mental hygiene menitikberatkan kehidupan kerohanian, sedangkan psikohygiene menitikberatkan manusia sebagai totalitas psikofisik atau psikosomatik.
Di sini, kedua istilah tersebut disamakan karena dalam uraian selanjutnya, ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang membicarakan kehidupan mental manusia dengan memandang manusia sebagai totalitas psikofisik yang kompleks. Ada banyak definisi yang diberikan oleh para penulis terhadap ilmu kesehatan mental. Beberapa di antaranya akan dikemukakan di bawah ini.
Alexander Schneiders mengatakan bahwa: “Ilmu kesehatan mental adalah ilmu yang mengembangkan dan menerapkan seperangkat prinsip yang praktis dan bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesejahteraan psikologis organisme manusia dan mencegah gangguan mental serta ketidakmampuan menyesuaikan diri” (Schneiders, 1965).
Samson, Sin, dan Hotilena mendefinisikan ilmu kesehatan mental sebagai ilmu “yang bertujuan untuk menjaga dan memelihara fungsi-fungsi mental yang sehat dan mencegah ketidakmampuan menyesuaikan diri atau kegiatan-kegiatan mental yang kalut.” (Samson, Sin, & Hofilena, 1963).
Definisi-definisi yang lebih singkat tentang ilmu kesehatan mental telah dikemukakan oleh beberapa penulis lain. Howard Bernard menyatakan bahwa ilmu kesehatan mental adalah suatu program yang dipakai dan diikuti seseorang untuk mencapai penyesuaian diri (Bernard, 1957). D.B. Klein mengemukakan bahwa ilmu kesehatan mental itu adalah ilmu yang bertujuan untuk mencegah penyakit mental dan meningkatkan kesehatan mental (Klein, 1955).
Suatu definisi terakhir diberikan oleh Louis P. Thorpe yang mengemukakan bahwa “ilmu kesehatan mental adalah tahap psikologi yang bertujuan untuk mencapai dan memelihara kesehatan mental” (Thorpe, 1960). Analisis terhadap berbagai cara mendefinisikan ilmu kesehatan mental menunjukkan bahwa ilmu tersebut pertama-tama berbicara mengenai pemakaian dan penerapan seperangkat prinsip kesehatan yang bertujuan untuk mencegah ketidakmampuan menyesuaikan diri serta meningkatkan kesehatan mental.
Ilmu ini pada hakikatnya bersifat preventif dan tujuannya yang utama adalah untuk memelihara kesehatan dan efisiensi mental. Untuk mencapai tujuan tersebut, tentu saja tidak hanya satu rumusan dapat dipakai untuk melindungi diri sepenuhnya terhadap kecemasan dan tegangan-tegangan yang muncul dari konflik-konflik dan frustrasi-frustrasi.
Orang harus menentukan sendiri perubahan-perubahan yang diinginkan dalam kebiasaan-kebiasaan penyesuaian dirinya karena is dibimbing oleh fakta-fakta dan prinsip-prinsip yang telah dicernakannya dalam ilmu kesehatan mental.
Dan tidak seperti dalam kesehatan fisik, orang mendapat kekebalan terhadap penyakit-penyakit menular dan tetap kebal terhadap penyakit-penyakit tersebut untuk beberapa tahun. dalam kesehatan mental diperlukan suatu pendekatan yang lebih fundamental untuk mengubah perasaan-perasaan yang mendalain, sikap-sikap, dan pola-pola tindakan manusia.
Sumber : http://patofisiologipenatalaksanaan.blogspot.com/2011/05/definisi-tentang-ilmu-kesehatan-mental.html